Harta Karun untuk Semua (Esai Peduli Lingkungan)
Posted: Thu Nov 29, 2007 10:26 pm
Aloha...
Ini ada artikel bagus dapat dari salah satu milisku. Kucopy paste aja yah...
Semoga bermanfaat dan bisa kita amalkan...
:great:
Oleh: Dewi Lestari
> Hari ini kiriman buku yang saya pesan dari
> Amazon.com datang. Ada satu buku yang langsung saya
> sambar dan baca seketika. Judulnya: "Stuff - The
> Secret Lives of Everyday Things". Buku itu tipis,
> hanya 86 halaman, tapi informasi di dalamnya
> bercerita tentang perjalanan ribuan mil dari mana
> barang-barang kita berasal dan ke mana barang-barang
> kita berakhir.
>
> Dimulai sejak SD, saat saya pertama kali tahu bahwa
> plastik memakan waktu ratusan tahun untuk musnah,
> saya sering merenung: orang gila mana yang mencipta
> sesuatu yang tak musnah ratusan tahun tapi masa
> penggunaannya hanya dalam skala jam-bahkan detik?
> Bungkus permen yang hanya bertahan sepuluh detik di
> tangan, lalu masuk tong sampah, ditimbun di tanah
> dan baru hancur setelah si pemakan permen menjadi
> fosil.
>
> Sukar membayangkan apa jadinya hidup ini tanpa
> plastik, tanpa cat, tanpa deterjen, tanpa karet,
> tanpa mesin, tanpa bensin, tanpa fashion. Dan
> sebagai konsumen dalam sistem perdagangan modern,
> sejak kita lahir rantai pengetahuan tentang awal dan
> akhir dari segala sesuatu yang kita konsumsi telah
> diputus. Kita tidak tahu dan tidak dilatih untuk mau
> tahu ke mana kemasan styrofoam yang membungkus nasi
> rames kita pergi, berapa banyak pohon yang ditebang
> untuk koran yang kita baca setengah jam saja, beban
> polutan yang diemban baju-baju semusim yang kita
> beli membabi-buta.
>
> Untuk aktivitas harian yang kita lewatkan tanpa
> berpikir, yang terasa wajar-wajar saja, pernahkah
> kita berhitung bahwa untuk hidup 24 jam kita bisa
> menghabiskan sumber daya Bumi ini berkali-kali lipat
> berat tubuh kita sendiri?
>
> Untuk menyiram 200 cc air kencing, kita memakai 3
> liter air. Untuk
> mencuci secangkir kopi, kita butuh air sebaskom.
> Untuk memproduksi satu lapis daging burger yang
> mengenyangkan perut setengah hari dibutuhkan sekitar
> 2,400 liter air. Produksi satu set PC seberat 24 kg
> yang parkir di atas meja kerja kita menghasilkan 62
> kg limbah, memakai 27,594 liter air, dan mengonsumsi
> listrik 2,300 kwh. Bagaimana dengan chip kecil yang
> bekerja di dalamnya? Limbah yang dihasilkan untuk
> memproduksinya 4,500
> kali lipat lebih berat daripada berat chip itu
> sendiri.
>
> Mengetahui mata rantai tersembunyi ini bisa
> menimbulkan berbagai reaksi. Kita bisa frustrasi
> karena terjepit dalam ketergantungan gayahidup yang
> tak bisa dikompromi, kita bisa juga semakin apatis
> karena tidak mau pusing. Yang jelas, sesungguhnya
> ini adalah pengetahuan yang sudah saatnya dibuka.
> Pelajaran Ilmu Alam, selain belajar penampang daun
> dan membedah jantung katak, dapat dibuat lebih
> empiris dengan mempelajari hulu dan hilir dari
> benda-benda yang kita konsumsi, sehingga tanggung
> jawab akan alam ini telah disosialisasikan sejak
> kecil.
>
> Pernahkah kita merenung, saat kita memasuki gedung
> FO empat lantai,
> Pasar Baru, atau berjalan-jalan ke Gasibu pada hari
> Minggu di mana ada lautan PKL: tidakkah semua baju
> dan barang-barang itu mampu memenuhi kecukupan
> penduduk satu kota? Tapi kenapa barang-barang ini
> tidak ada habisnya diproduksi? Setiap hari selalu
> ada jubelan pakaian baru yang menggelontori pasar.
> Pernahkah kita merenung, saat kita memasuki
> hypermarket dan melihat ratusan macam biskuit,
> ratusan varian mie instan, dan ratusan merk sabun:
> haruskah kita memiliki pilihan sebanyak itu?
>
> Pernahkah kita merenung, apa yang kita inginkan
> sesungguhnya jauh melebihi apa yang kita butuhkan?
>
> Atas nama kecukupan, satu manusia bisa hidup dengan
> limapasang baju dalam setahun, bahkan lebih. Atas
> nama fashion, jumlah itu menjadi tidak berbatas.
> Atas nama kebutuhan, satu manusia bisa hidup dengan
> beberapa pilihan panganan dalam sehari. Atas nama
> selera dan nafsu, seisi Bumi tidak akan sanggup
> memenuhi keinginan satu manusia.
>
> Permasalahan ini memang bisa dilihat dari berbagai
> kaca mata. Seorang ekonom mungkin akan menyalahkan
> sistem kapitalisme dan globalisasi. Seorang
> sosialis akan mengatakan ini masalah distribusi dan
> pemerataan. Tapi jika kita runut, satu demi satu,
> bahwa Bumi adalah kumpulan negara, negara adalah
> kumpulan kelompok, dan kelompok adalah kumpulan
> individu,
> permasalahan ini akan kembali ke pangkuan kita. Dan
> kesadaran serta kemauan kitalah yang pada akhirnya
> akan memungkinkan sebuah perubahan sejati.
>
> Belum pernah dalam sejarah kemanusiaan keputusan
> harian kita menjadi sangat menentukan. Tidak perlu
> menunggu Amerika menyepakati protocol Kyoto, tidak
> perlu juga menunggu penjarah hutan tertangkap,
> setiap langkah kita-memilih merk, kuantitas, tempat,
> gaya hidup-adalah pilihan politis dan ekologis yang
> menentukan masa depan seisi Bumi.
>
> Saya belum bisa mengorbankan komputer karena itulah
> instrumen saya bekerja, tapi saya bisa lebih awas
> dengan jam penggunaan dan mematikannya jika tidak
> perlu. Saya belum bisa mengorbankan kebutuhan akan
> informasi, tapi saya bisa memilih membaca berita
> lewat internet atau membaca koran di tempat publik
> ketimbang berlangganan langsung.
>
> Bagaimana dengan fashion?
> Di dunia citra ini, dengan profesi yang mengharuskan
> banyak tampil di muka publik, saya pun belum bisa
> mengorbankan keperluan fashion (baca: membeli busana
> lebih sering dari yang dibutuhkan), tapi saya bisa
> membuat komitmen dengan lemari pakaian, yakni baju
> yang saya miliki tidak boleh melebihi kapasitas
> lemari saya. Jika lebih, maka harus ada yang keluar.
> Dan setiap beberapa bulan saya dihadapkan pada
> kenyataan bahwa ada baju yang tidak saya pakai
> setahun lebih atau baju yang cuma sekali dipakai dan
> tak pernah lagi. Bukan cuma baju, ada juga buku,
> pernik rumah, alat dapur, bahkan sabun dan sampo
> yang utuh tak disentuh.
>
> Alhasil, dalam rumah saya ada semacam peti-peti
> 'harta karun', yang berisikan barang-barang yang
> harus keluar dari peredaran, karena jika
> dipertahankan hanya menjadi kelebihan tanpa lagi
> unsur manfaat. Harta karun ini lantas harus
> dicarikan lagi outlet untuk penyaluran.
>
> Pada waktu perayaan 17 Agustus, di kompleks saya
> diselenggarakan bazaar. Para warga menyewa stand
> untuk berjualan. Saya ikut berpartisipasi, dan
> sayalah satu-satunya penjual barang bekas di antara
> penjual barang-baru baru. Karena bukan demi cari
> untung, barang-barang itu saya lepas dengan
> harga sangat murah. Yang membeli bukan cuma warga
> kompleks, tapi juga dari kampung sekitar. Hari
> pertama, saya sudah kehabisan dagangan. Terpaksa
> saya mengontak saudara-saudara saya yang barangkali
> juga punya barang bekas untuk disalurkan. Sama
> dengan saya, mereka pun punya timbunan harta karun
> yang entah harus diapakan. Stand saya menjadi salah
> satu stand paling laris selama bazaar berlangsung.
> Dan kakak saya terkaget-kaget dengan penghasilan
> yang ia dapat dari tumpukan barang yang sudah
> dianggap sampah.
>
> Berjualan di bazaar tentu bukan satu-satunya jalan,
> ada aneka cara
> kreatif lain untuk memanfaatkan harta karun kita,
> termasuk juga
> disumbangkan. Namun yang lebih sukar adalah memulai
> membuat
> komitmen-komitmen pembatasan diri. Berkomitmen
> dengan rak buku, dengan lemari pakaian, dengan rak
> kamar mandi, dengan laci dapur, dan pada intinya...
> dengan diri sendiri. Siapkah kita menentukan batasan
> dan berjalan dalam koridor itu?
>
> Dan, yang lebih susah lagi, adalah pengendalian diri
> dari awal bersua aneka pilihan yang membombardir
> kita setiap hari, lalu sadar dan mawas akan rantai
> sebab-akibat yang menyertai pilihan kita. Membuka
> diri untuk info dan pengetahuan ekologi adalah salah
> satu cara pembekalan yang baik. Walaupun sekilas
> tampak merepotkan dan bikin frustrasi, tapi kantong
> kresek yang kita buang tadi pagi tidak akan hilang
> oleh sihir, dan hamburger yang kita makan tidak
> dipetik dari pohon. Rantai yang menyertai
> barang-barang itu tidak akan hilang hanya karena
> kita menolak tahu.
>
> Banyak orang yang berkomentar pada saya, "Aduh, Wi.
> Kamu bikin hidup tambah susah saja." Dan mereka
> benar. Hidup ini tak mudah. Untuk itu kita justru
> harus belajar menghargai setiap jengkalnya. Memilih
> hidup yang lebih sederhana, hidup dengan tempo yang
> lebih pelan, hidup dengan pengasahan kesadaran, tak
> hanya membantu kita lebih eling dan terkendali, tapi
> juga membantu Bumi ini dan jutaan manusia yang
> dijadikan alas kaki oleh industri demi pemenuhan
> nafsu konsumsi kita sendiri.
>
> Lingkaran *****?
> Ya. Tapi tidak berarti kita tak sanggup
> berubah.Selama ini kita adalah pembeli yang berlari.
> Dalam kecepatan tinggi kita bertransaksi, sabet sana
> sabet sini, tanpa tahu lagi apa yang
> sesungguhnya kita cari.
>
> Berhentilah sejenak. Marilah kita berjalan. ***
Ini ada artikel bagus dapat dari salah satu milisku. Kucopy paste aja yah...
Semoga bermanfaat dan bisa kita amalkan...
:great:
Oleh: Dewi Lestari
> Hari ini kiriman buku yang saya pesan dari
> Amazon.com datang. Ada satu buku yang langsung saya
> sambar dan baca seketika. Judulnya: "Stuff - The
> Secret Lives of Everyday Things". Buku itu tipis,
> hanya 86 halaman, tapi informasi di dalamnya
> bercerita tentang perjalanan ribuan mil dari mana
> barang-barang kita berasal dan ke mana barang-barang
> kita berakhir.
>
> Dimulai sejak SD, saat saya pertama kali tahu bahwa
> plastik memakan waktu ratusan tahun untuk musnah,
> saya sering merenung: orang gila mana yang mencipta
> sesuatu yang tak musnah ratusan tahun tapi masa
> penggunaannya hanya dalam skala jam-bahkan detik?
> Bungkus permen yang hanya bertahan sepuluh detik di
> tangan, lalu masuk tong sampah, ditimbun di tanah
> dan baru hancur setelah si pemakan permen menjadi
> fosil.
>
> Sukar membayangkan apa jadinya hidup ini tanpa
> plastik, tanpa cat, tanpa deterjen, tanpa karet,
> tanpa mesin, tanpa bensin, tanpa fashion. Dan
> sebagai konsumen dalam sistem perdagangan modern,
> sejak kita lahir rantai pengetahuan tentang awal dan
> akhir dari segala sesuatu yang kita konsumsi telah
> diputus. Kita tidak tahu dan tidak dilatih untuk mau
> tahu ke mana kemasan styrofoam yang membungkus nasi
> rames kita pergi, berapa banyak pohon yang ditebang
> untuk koran yang kita baca setengah jam saja, beban
> polutan yang diemban baju-baju semusim yang kita
> beli membabi-buta.
>
> Untuk aktivitas harian yang kita lewatkan tanpa
> berpikir, yang terasa wajar-wajar saja, pernahkah
> kita berhitung bahwa untuk hidup 24 jam kita bisa
> menghabiskan sumber daya Bumi ini berkali-kali lipat
> berat tubuh kita sendiri?
>
> Untuk menyiram 200 cc air kencing, kita memakai 3
> liter air. Untuk
> mencuci secangkir kopi, kita butuh air sebaskom.
> Untuk memproduksi satu lapis daging burger yang
> mengenyangkan perut setengah hari dibutuhkan sekitar
> 2,400 liter air. Produksi satu set PC seberat 24 kg
> yang parkir di atas meja kerja kita menghasilkan 62
> kg limbah, memakai 27,594 liter air, dan mengonsumsi
> listrik 2,300 kwh. Bagaimana dengan chip kecil yang
> bekerja di dalamnya? Limbah yang dihasilkan untuk
> memproduksinya 4,500
> kali lipat lebih berat daripada berat chip itu
> sendiri.
>
> Mengetahui mata rantai tersembunyi ini bisa
> menimbulkan berbagai reaksi. Kita bisa frustrasi
> karena terjepit dalam ketergantungan gayahidup yang
> tak bisa dikompromi, kita bisa juga semakin apatis
> karena tidak mau pusing. Yang jelas, sesungguhnya
> ini adalah pengetahuan yang sudah saatnya dibuka.
> Pelajaran Ilmu Alam, selain belajar penampang daun
> dan membedah jantung katak, dapat dibuat lebih
> empiris dengan mempelajari hulu dan hilir dari
> benda-benda yang kita konsumsi, sehingga tanggung
> jawab akan alam ini telah disosialisasikan sejak
> kecil.
>
> Pernahkah kita merenung, saat kita memasuki gedung
> FO empat lantai,
> Pasar Baru, atau berjalan-jalan ke Gasibu pada hari
> Minggu di mana ada lautan PKL: tidakkah semua baju
> dan barang-barang itu mampu memenuhi kecukupan
> penduduk satu kota? Tapi kenapa barang-barang ini
> tidak ada habisnya diproduksi? Setiap hari selalu
> ada jubelan pakaian baru yang menggelontori pasar.
> Pernahkah kita merenung, saat kita memasuki
> hypermarket dan melihat ratusan macam biskuit,
> ratusan varian mie instan, dan ratusan merk sabun:
> haruskah kita memiliki pilihan sebanyak itu?
>
> Pernahkah kita merenung, apa yang kita inginkan
> sesungguhnya jauh melebihi apa yang kita butuhkan?
>
> Atas nama kecukupan, satu manusia bisa hidup dengan
> limapasang baju dalam setahun, bahkan lebih. Atas
> nama fashion, jumlah itu menjadi tidak berbatas.
> Atas nama kebutuhan, satu manusia bisa hidup dengan
> beberapa pilihan panganan dalam sehari. Atas nama
> selera dan nafsu, seisi Bumi tidak akan sanggup
> memenuhi keinginan satu manusia.
>
> Permasalahan ini memang bisa dilihat dari berbagai
> kaca mata. Seorang ekonom mungkin akan menyalahkan
> sistem kapitalisme dan globalisasi. Seorang
> sosialis akan mengatakan ini masalah distribusi dan
> pemerataan. Tapi jika kita runut, satu demi satu,
> bahwa Bumi adalah kumpulan negara, negara adalah
> kumpulan kelompok, dan kelompok adalah kumpulan
> individu,
> permasalahan ini akan kembali ke pangkuan kita. Dan
> kesadaran serta kemauan kitalah yang pada akhirnya
> akan memungkinkan sebuah perubahan sejati.
>
> Belum pernah dalam sejarah kemanusiaan keputusan
> harian kita menjadi sangat menentukan. Tidak perlu
> menunggu Amerika menyepakati protocol Kyoto, tidak
> perlu juga menunggu penjarah hutan tertangkap,
> setiap langkah kita-memilih merk, kuantitas, tempat,
> gaya hidup-adalah pilihan politis dan ekologis yang
> menentukan masa depan seisi Bumi.
>
> Saya belum bisa mengorbankan komputer karena itulah
> instrumen saya bekerja, tapi saya bisa lebih awas
> dengan jam penggunaan dan mematikannya jika tidak
> perlu. Saya belum bisa mengorbankan kebutuhan akan
> informasi, tapi saya bisa memilih membaca berita
> lewat internet atau membaca koran di tempat publik
> ketimbang berlangganan langsung.
>
> Bagaimana dengan fashion?
> Di dunia citra ini, dengan profesi yang mengharuskan
> banyak tampil di muka publik, saya pun belum bisa
> mengorbankan keperluan fashion (baca: membeli busana
> lebih sering dari yang dibutuhkan), tapi saya bisa
> membuat komitmen dengan lemari pakaian, yakni baju
> yang saya miliki tidak boleh melebihi kapasitas
> lemari saya. Jika lebih, maka harus ada yang keluar.
> Dan setiap beberapa bulan saya dihadapkan pada
> kenyataan bahwa ada baju yang tidak saya pakai
> setahun lebih atau baju yang cuma sekali dipakai dan
> tak pernah lagi. Bukan cuma baju, ada juga buku,
> pernik rumah, alat dapur, bahkan sabun dan sampo
> yang utuh tak disentuh.
>
> Alhasil, dalam rumah saya ada semacam peti-peti
> 'harta karun', yang berisikan barang-barang yang
> harus keluar dari peredaran, karena jika
> dipertahankan hanya menjadi kelebihan tanpa lagi
> unsur manfaat. Harta karun ini lantas harus
> dicarikan lagi outlet untuk penyaluran.
>
> Pada waktu perayaan 17 Agustus, di kompleks saya
> diselenggarakan bazaar. Para warga menyewa stand
> untuk berjualan. Saya ikut berpartisipasi, dan
> sayalah satu-satunya penjual barang bekas di antara
> penjual barang-baru baru. Karena bukan demi cari
> untung, barang-barang itu saya lepas dengan
> harga sangat murah. Yang membeli bukan cuma warga
> kompleks, tapi juga dari kampung sekitar. Hari
> pertama, saya sudah kehabisan dagangan. Terpaksa
> saya mengontak saudara-saudara saya yang barangkali
> juga punya barang bekas untuk disalurkan. Sama
> dengan saya, mereka pun punya timbunan harta karun
> yang entah harus diapakan. Stand saya menjadi salah
> satu stand paling laris selama bazaar berlangsung.
> Dan kakak saya terkaget-kaget dengan penghasilan
> yang ia dapat dari tumpukan barang yang sudah
> dianggap sampah.
>
> Berjualan di bazaar tentu bukan satu-satunya jalan,
> ada aneka cara
> kreatif lain untuk memanfaatkan harta karun kita,
> termasuk juga
> disumbangkan. Namun yang lebih sukar adalah memulai
> membuat
> komitmen-komitmen pembatasan diri. Berkomitmen
> dengan rak buku, dengan lemari pakaian, dengan rak
> kamar mandi, dengan laci dapur, dan pada intinya...
> dengan diri sendiri. Siapkah kita menentukan batasan
> dan berjalan dalam koridor itu?
>
> Dan, yang lebih susah lagi, adalah pengendalian diri
> dari awal bersua aneka pilihan yang membombardir
> kita setiap hari, lalu sadar dan mawas akan rantai
> sebab-akibat yang menyertai pilihan kita. Membuka
> diri untuk info dan pengetahuan ekologi adalah salah
> satu cara pembekalan yang baik. Walaupun sekilas
> tampak merepotkan dan bikin frustrasi, tapi kantong
> kresek yang kita buang tadi pagi tidak akan hilang
> oleh sihir, dan hamburger yang kita makan tidak
> dipetik dari pohon. Rantai yang menyertai
> barang-barang itu tidak akan hilang hanya karena
> kita menolak tahu.
>
> Banyak orang yang berkomentar pada saya, "Aduh, Wi.
> Kamu bikin hidup tambah susah saja." Dan mereka
> benar. Hidup ini tak mudah. Untuk itu kita justru
> harus belajar menghargai setiap jengkalnya. Memilih
> hidup yang lebih sederhana, hidup dengan tempo yang
> lebih pelan, hidup dengan pengasahan kesadaran, tak
> hanya membantu kita lebih eling dan terkendali, tapi
> juga membantu Bumi ini dan jutaan manusia yang
> dijadikan alas kaki oleh industri demi pemenuhan
> nafsu konsumsi kita sendiri.
>
> Lingkaran *****?
> Ya. Tapi tidak berarti kita tak sanggup
> berubah.Selama ini kita adalah pembeli yang berlari.
> Dalam kecepatan tinggi kita bertransaksi, sabet sana
> sabet sini, tanpa tahu lagi apa yang
> sesungguhnya kita cari.
>
> Berhentilah sejenak. Marilah kita berjalan. ***