Desa Terakhir di Kecamatan Puncu

Sebuah Cerita dari Bencana Alam Gunung Kelud

Sekitar puluhan relawan berjejer dalam satu barisan panjang yang berawal dari mobil pick up yang baru saja tiba di depan pintu gerbang. Mereka memindahkan bala bantuan dari satu orang ke orang berikutnya, menumpuk dan menyusun logistik dalam satu jenis. Pagi itu, di kantor Kecamatan Puncu memang baru berdatangan bantuan dari berbagai daerah. Bantuan berupa bahan pangan dan sebagainya tidak henti-hentinya memenuhi aula besar tempat penyimpanan logistik. Pangan yang sudah terkumpul di posko utama ini nantinya akan didistribusikan ke desa-desa dan dusun-dusun yang terkena imbas letusan Gunung Kelud.

* * *

Terhitung dari erupsi tanggal 13 Februari 2014, material vulkanik yang disemburkan Gunung Kelud telah menghancurkan sebagian besar pemukiman warga dalam radius 5 km. Tidak hanya itu, abu vulkanik yang tebalnya hingga puluhan sentimeter menutup jalan-jalan disekitar kaki gunung. Di salah satu desa di Kecamatan Puncu, yakni Desa Kebonrejo, menjadi sangat prihatin ketika warga kedapatan lingkungan tempat mereka bermukim porak poranda : fasilitas umum rusak parah, perkebunan tertutup abu dan air bersih yang sangat minim.

Desa Terakhir di Kecamatan Puncu
Desa Terakhir di Kecamatan Puncu
Suasana Desa Kebonrejo Pasca Erupsi
Suasana Desa Kebonrejo Pasca Erupsi

Pemandangan mengenaskan ini menjadi daya tarik sendiri bagi mereka yang dengan sukarela meringankan kesulitan saudara-saudara di kawasan Gunung Kelud. Namun tidak sedikit juga bendera-bendera yang memanfaatkan musibah ini sebagai ajang menaikan citra pribadi.

Bersama Dhiky Wahyu, salah satu anggota Astacala yang lebih dulu tiba, saya bergabung di posko pengungsian warga Panggungsari di SDN 1 Kepung. Berada di radius 10 km dari Gunung Kelud, posko ini dikoordinir oleh salah seorang guru di daerah tersebut. Di pengungsian tergabung kelompok-kelompok dari Satu Bumi Fakultas Teknik UGM, FKAM, Kelompok Pramuka STAIN Kediri, dan Astacala.

Gotong Royong Para Relawan
Gotong Royong Para Relawan

Malam itu, malam di mana saya baru saja tiba, saya sedikit berbincang dengan rekan-rekan dari UGM, mereka menuturkan bahwa warga yang tersisa di pengungsian tinggal 30 Kepala Keluarga dari jumlah sebelumnya 300 kepala keluarga. “Kemarin sore kepala camat datang ke sini” kata salah seorang koordinator dari Satu Bumi, “Beliau memberi pilihan bagi pengungsi untuk pindah ke posko utama atau pulang ke rumah masing-masing, karena sekolah ini akan mulai dipakai untuk kegiatan belajar mengajar.”

Status Gunung Kelud saat itu memang sudah turun menjadi waspada, sebagian warga lebih memilih pulang ke rumah masing-masing untuk segera membersihkan sisa-sisa erupsi. Sedangkan warga yang tersisa dipengungsian mengaku bahwa rumah mereka sudah hancur dan tidak bisa dihuni dalam waktu dekat. Tidak heran jika mereka yang tinggal di pengungsian masih menggantungkan hidupnya di dapur umum yang disediakan para relawan, karena secara materi kehidupan mereka masih jauh dari normal.

* * *

Minggu (23/2/2014) sesuai rencana, posko akan dipindah tempatkan ke Desa Kebonrejo, di Dusun Panggungsari, tepatnya ke kediaman Bu Papik, salah satu pengungsi yang menawarkan rumahnya untuk dijadikan dapur umum untuk warga sekitar. Para pengungsi yang akan dipindahkan sibuk mengepak barang-barang yang akan dibawa pagi itu, relawan yang mengoordinir sibuk memindahkan peralatan dapur yang akan dipindahkan. Tawa canda bocah pengungsian dan bising vespa dari BVC (Babat Vespa club) Peduli Kelud menambah hiruk pikuk pagi cerah di tempat itu.

Sesaat Sebelum Meninggalkan Pengungsian
Sesaat Sebelum Meninggalkan Pengungsian
Anak-Anak Pengungsi yang Bermain dengan Relawan
Anak-Anak Pengungsi yang Bermain dengan Relawan

Di luar posko SDN 1 Kepung, hari itu pun sibuk datang dan pergi bala bantuan dari berbagai penjuru daerah. Mulai dari TNI, Ormas-ormas, LSM, hingga pejabat-pejabat tinggi terjun langsung guna memberi bantuan kepada korban erupsi Gunung Kelud. Tak ayal hari itu padat oleh kendaraan-kendaraan dengan bendera masing-masing. Masyarakat berbondong-bondong menuju tempat bencana mengirim bantuan berupa pangan dan papan, mengirim air bersih, bergotong royong membangun fasilitas umum. Atmosfer kompetisi “siapa yang memberi lebih banyak” sangat terasa hari itu.

Sempat berkeliling ke sekitar lingkungan Puncu radius 5 km dari Gunung Kelud, kami menyaksikan ironisnya keadaan pemukiman di sana. Tidak hanya rumah, tapi juga kebun dan hewan peliharaan mereka jadi korban. Sepanjang jalan terlihat beberapa tenda pleton milik TNI, rumah warga yang disulap menjadi posko dengan tumpukan kardus, toren yang berdiri disetiap sudut jalan, dan beberapa turis yang berjalan hilir mudik hanya untuk mengambil gambar. Warga yang sudah merasa terpenuhi kebutuhan primernya tidak tercermin di hari lalu. Beberapa hari kebelakang, ketika Dhiky pertama kali menjajaki daerah itu, warga dengan antusias mencegah setiap orang yang melintasi daerah itu. “Kami belum kebagian Pak”, begitu mereka meneriaki para relawan yang sedang melintas. Tetapi hari itu, semua terasa  teratasi. Jika dalam lingkup materi dan pangan, saya pun setuju, teratasi. Tapi mental dan moral? Saya rasa saya belum bisa menjawab.

***

Di hari setelahnya, hari di mana langkah-langkah ini dirasa akan berhenti, saya justru menemukan kejanggalan yang mengusik kepergian saya.

Beranjak ke posko utama Kecamatan Kepung sebelum siang menjelang. Alih-alih mencari data relawan yang tersebar di kecamatan itu, saya melihat ada yang tidak berjalan baik di sini. Pendataan yang tidak valid dan koordinasi yang tidak berjalan antar posko menjadi sorotan utama bagi saya. Sebenarnya hal tersebut sudah dirasakan Dhiky ketika dia berada di posko pusat Kediri di daerah Gumul. Saat itu Dhiky menemukan data yang tidak cocok antara dokumen di posko pusat dengan di lapangan. Salah satu rekan di pengungsian menambahkan bahwa tidak adanya koordinasi antar posko menyebabkan membusuknya logistik-logistik yang tertimbun.

Mushola yang Hancur Karena Erupsi Gunung Kelud
Mushola yang Hancur Karena Erupsi Gunung Kelud
Penyerahan Bantuan Dari Keluarga Besar Mahasiswa Universitas Telkom
Penyerahan Bantuan Dari Keluarga Besar Mahasiswa Universitas Telkom

Kenyataannya memang tanggap bencana di gunung Kelud ini tidak terkordinasi dengan baik. Penyediaan akan informasi assesment bagi para relawan yang membutuhkan dalam waktu  cepat, tidak tersaji sesuai keadaan. Donasi yang seharusnya bisa dikelola sesuai kebutuhan pun pada akhirnya menjadi kurang bermanfaat. Soal jumlah bantuan? Jangan ditanya, sekeliling Gunung Kelud hingga radius 10 km bertebaran posko dari berbagai bendera. Logistik yang ada saya kira melebihi kapasitas perut dari ratusan warga jika tersebar merata.

Dan jika saja saya boleh berandai-andai, ke-solidaritas-an bangsa dalam peduli bencana Kelud ini bisa diterapkan di mana dan kapan saja. Karena bukan apa-apa, hal ini merupakan identitas bangsa. Dan juga anak cucu kita.

Tulisan dan Foto oleh Rendy Apriyando

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *